Rabu, 30 Mei 2012

Resume tentang Media Baru


Resume tentang Media Baru
Media baru,  merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Contoh dari media yang sangat merepresentasikan media baru adalah Internet. Program televisi, film, majalah, buku, suratkabar, dan jenis media cetak lain tidak termasuk media baru.
Jenis media baru
  1. Mikrokomputer
·         Unit yang berdiri sendiri, biasanya dengan ketentuan untuk memuat perangkat lunak individual dan kadang-kadang dihubungkan dengan mikrokomputer lain dalam jaringan. Unit pusat pengolahan mikrokomputer yang membaca dan mengeksekusi instruksi program adalah berupa sebuah chip semikonduktor tunggal.
2.      Telekonferensi
·         Pertemuan kelompok kecil yang dimiliki oleh komunikasi elektronik interaktif antara tiga orang atau lebih dalam dua atau lebih lokasi yang terpisah. Tiga jenis utama telekonferensing adalah video telekonferensi, telekonferensi audio, dan telekonferensi computer.
3.      Teleteks
·         Layanan informasi interaktif yang memungkinkan individu untuk meminta frame informasi untuk melihat pada layar televise rumah.
4.      Videotext
·         Layanan informasi interaktif yang memungkinkan individu untuk meminta frames informasi dari sebuah computer pusat untuk melihat pada layar tampilan video .

5.      Komunikasi Satelit
·         Komunikasi satelit terdiri dari pesan telepon, siaran televisi dan pesan lain dari suatu tempat di permukaan lain. Satelit ini biasanya diletakan di stationer atau di sekitar khatulistiwa sekita 22.300 mil dari permukaan bumi. Pada dasarnya, transmisi satelit televise, telepon dan informasi lain menghilangkan pengaruh jarak pada biaya komunikasi.

Memahami Istilah Media Baru (New Media)


media baru
media baru
Tulisan ini muncul setelah melihat deretan beberapa posting di Kompasiana, khususnya di kategori New Media. Saya menjadi resah, ketika ada beberapa posting yang tidak klop dengan kategori ini. Artinya, (mohon maaf) ada beberapa blogger yang sebenarnya tidak memahami term ini sehingga secara asal memasukkan postingannya.
Contohnya saja, ada beberapa posting yang justru menyinggung isu pertelevisian. Kelihatannya televisi memang bagian dari media. Namun, sangat tidak tepat untuk memasukkan televisi sebagai bagian dari media baru. Media baru secara sederhana adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online social network, online forum, dsb yang menggunakan komputer sebagai media-nya. Jadi, sangatlah tidak tepat untuk memasukkan televisi, radio apalagi media cetak sebagai bagian dari media baru. Bagi saya, kesalahan memahami istilah tentu akan membuat kerancuan.
(Media baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai “media baru” adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Beberapa contoh dapat Internet, website, komputer multimedia, permainan komputer, CD-ROMS, dan DVD. Media baru bukanlah televisi, film, majalah, buku, atau publikasi berbasis kertas.)
Kemunculan media baru memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Media baru secara langsung telah merubah pola kehidupan masyarakat, budaya, cara berfikir, dan hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Perkembangan media ini mendapatkan tanggapan yang beragam, ada yang pro dan ada yang kontra. Tanggapan tersebut sah-sah saja dikeluarkan sepanjang kita memahami betul apa dan bagaimana media baru itu sendiri.Sebelum kita memutuskan apakah media baru itu bagus atau tidak, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu definisi media baru.
Secara karakteristik, media baru sangat berbeda karakteristiknya dengan media lama. Pada media lama, interaktivitas tidak terjalin dan gap diantara komunikator dengan komunikan sangat terlihat sekali. Sebaliknya, media baru membawa potensi hubungan yang interaktif diantara pengguna serta membangun hubungan yang setara antara pengirim dan penerima pesan.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh media baru dapat kita lihat sebagai kelebihan atau sisi positif dari media baru. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata bahwa media baru juga memberikan beberapa dampak negatif yang harus kita waspadai.
Pertama, media baru dikhawatirkan akan mengambil alih peran institusi-institusi sosial sebelumnya dalam membentuk dan mengarahkan nilai-nilai masyarakat. Orang-orang yang tadinya menggunakan nilai-nilai yang berasal dari institusi sosial seperti keluarga sekarang berpindah menggunakan nilai-nilai yang mereka lihat dalam media misalnya budaya populer.
Hal kedua yang perlu kita khawatirkan adalah adanya pihak-pihak tertentu yang menggunakan media baru sebagai alat propaganda dan doktrinisasi. Bagaimanapun, media baru memiliki kemampuan dan daya jangkau yang sangat luas, sehingga besar kemungkinan media ini dimanfaatkan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita lihat bahwa sama seperti media-media lainnya, media baru juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu kita sebagai pengguna harus selektif dan dengan cermat menggunakan media ini dengan sebaik-baiknya.

Jumat, 20 April 2012

Contoh Makalah


Bab I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Dalam kehidupan berbagai Negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan Negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional.
Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government) dalam keseluruhan scenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukkan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan.
Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak factor lainnya. Di antara factor-faktor tersebut yang perlu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan Negara, baik unsur aparatur Negara maupun warga negaea dalam mewujudkan clean government dan good governancem serta dalam mengaktualisasian dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi Negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam Negara dan bermasyarakat bangsa. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menhadi suatu penyakit yang sangat parang yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hokum, dan memundurkan pembangunan serta memudarkan masa depan bangsa. Dalam hubungan itu, KKN tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunakaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian  keuangan dan asset Negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai public, baik disengaja atau pun tidak sengaja.

B.       Pokok Permasalahan
Sumber Gambar: Sukirman & Endah Apriani, Potret Kepuasan Konsumen Pelayanan Publik Kota Bandung, 2002


Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Keanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila ia benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara itu juga berasal dari praktek adinistrasi sehari-hari. Oelh sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara tidak berada dalam ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang aplikasinya, bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus bertindak menurut kaidah-kaidah etis yang ada guna mencapai good governance.
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang ingin diketahui adalah :
1.      Bagaimana penerapan konsep etika administrasi dalam pejabat pemegang birokrasi ?
2.      Apa azas-azas birokrasi yang baik untuk mencapai good governance ?
3.      Bagaimana implementasi etika dalam praktek?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Mengetahui penerapan konsep etika dalam administrasi
  2. Mengetahui asas-asas birokrasi yang baik
  3. Mengetahui implementasi etika dalam praktek.

D.      Sistematika Penulisan
BAB I      PENDAHULUAN
Dalam Bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang, Pokok Permasalah, Tujuan Penulisan, serta Sistematika Penulisan terkait dengan judul makalah yang ditulis.
BAB II     KERANGKA TEORI
Dalam Bab inni akan dijelaskan teori-teori yang mendukung dalam Penulisan, yang kemudian akan digunakan dalam analisa Penulis.
BAB III   ANALISIS ETIKA PEJABAT BIROKRASI INDONESIA
Dalam Bab ini akan menggambarkan dan menjelaskan lebih dalam mengenai kasus yang akan dianalisis oleh Penulis, serta menjawab pokok permasalahan atau pertanyaan penulisan yang sudah disebutkan sebelumnya.
BAB IV   KESIMPULAN
Dalam Bab ini Penulis akan menyimpulkan semua analisa penulisan dan menjawab pokok permasalahan.

Bab II
KERANGKA TEORI

A.      Pengertian
         Etika, dari bahasa Yunani ethos, artinya: kebiasaan atau watak
         Moral, dari bahasa Latin mos (jamak: mores), artinya: cara hidup atau kebiasaan.
         Norma, dalam bahasa Latin, norma berarti penyiku atau pengukur, dalam bahasa Inggris, norm, berarti aturan atau kaidah.
         Nilai, dalam bhs Inggris value, berarti konsep tentang baik dan buruk baik yang berkenaan dengan proses (instrumental) atau hasil (terminal)

A.1  Definisi Etika Administrasi Publik
         Ethics is the rules or standards governing, the moral conduct of the members of an organization or management profession (Chandler & Plano, The Public Administration Dictionary, 1982)
         Aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau pekerjaan manajemen
         Aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat
B.       Posisi Etika dalam Studi Administrasi Publik
         Teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan-pilihan moral (etika).
         Kebutuhan moral administrator hanyalah keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien.
         Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik tidak hanya harus efisien, tapi juga harus dapat mendefinisikan kepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan kebijakan atau tindakan secara bertanggungjawab.

B.1 Aliran Pemikiran Etika
            Terdapat empat Aliran pemikiran dalam etika, antara lain :
         Teori Empiris: etika diambil dari pengalaman dan dirumuskan sebagai kesepakatan
         Teori Rasional: manusia menentukan apa yang baik dan buruk berdasar penalaran atau logika.
         Teori Intuitif: Manusia secara naluriah atau otomatis mampu membedakan hal yang baik dan buruk.
         Teori Wahyu: Ketentuan baik dan buruk datang dari Yang Maha Kuasa

B.2 Hukum dan Etika
            Terdapat hubungan anatara Hukum dengan Etika sebagai berikut :
         Keduanya mengatur perilaku individu
         Terdapat perbedaan: ilegalitas tidak selalu berarti tidak etis
         Hukum bersifat eksternal dan dapat ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang (sasaran hukum), sementara etika bersifat internal, subyektif, digerakkan oleh keyakinan dan kesadaran individu
         Hukum dalam konteks administrasi adalah soal pemberian otoritas atau instrumen kekuasaan
         Basis dari hukum adalah etika, dan ketika hukum diterapkan harus dikembalikan pada prinsip-prinsip etika
         Banyak kasus, secara hukum dibenarkan tapi secara etika dipermasalahkan [trend anak politisi yang jadi calon anggota legislatif

B.3 Debat Herman Finer Vs. Carl Friedrich
         Finer (1936): Untuk menjamin birokrasi yang bertanggungjawab yang diperlukan adalah penegakan sistem kontrol melalui undang-undang dan peraturan yang dapat mendisiplinkan para pelanggar hukum.
         Friedrich (1940): Birokrasi yang bertanggungjawab hanya bisa ditegakkan dengan dengan menseleksi orang yang benar dengan kriteria profesionalisme yang jelas, dan mensosialisasikannya ke dalam nilai-nilai pelayanan publik


B.4 Perilaku tidak etis di birokrasi pemerintah
Konsep awal yang mendasari gagasan modern tentang birokrasi berassal dar tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, yang menyatakan beberapa ciri dari Birokrasi,antara lain :
  • Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pembagian tugas dan tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh para ahli sesuai spesialisasinya.
  • Pengorganisasian kantor berdasar prinsip hierarkhi.
    Dalam prinsip hierarkhi unit yang besar membawahi dan membina beberapa unit kecil. Setiap unit kecil dipimpin oleh seorang pejabat yang diberi hak, wewenang, dan pertanggungjawaban untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
  • Pelaksanaan tugas diatur dengan suatu peraturan formal dan aturan tersebut mencakup tentang keseragaman dalam melaksanakan tugas.
  • Pejabat yang melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat pengabdian yang tinggi.
  • Pekerjaan dalam organisasi birokratis didasarkan pada kompetensi teknis dan dilindungi dari pemutusan kerja secara sepihak. Menganut suatu jenjang karier berdasar senioritas dan prestasi kerja.
  • Pengalaman menunjukkan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.

            Sebagai dasar pemikiran dalam penulisan ini, maka Perilaku tidak etis di Birokrasi pemerintah antara lain :
         Bohong kepada publik
         Korupsi, kolusi, nepotisme
         Melanggar nilai-nilai publik: responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan lain-lain
         Melanggar sumpah jabatan
         Mengorbankan, mengabaikan, atau merugikan  kepentingan publik

B.5 Moralitas Pribadi
         Konsep baik-buruk, benar-salah yang telah terinternalisasi dalam diri individu
         Produk dari sosialisasi nilai masa lalu
         Moralitas pribadi adalah superego atau hati nurani yang hidup dalam jiwa dan menuntun perilaku individu
         Konsistensi pada nilai mencerminkan kualitas kepribadian individu
         Moralitas pribadi menjadi basis penting dalam kehidupan sosial dan organisasi

B.6 Etika profesi
         Nilai benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan pekerjaan profesional
         Nilai-nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip profesionalisme (kapabilitas teknis, kualitas kerja, komitmen pada profesi)
         Dapat dirumuskan ke dalam kode etik profesional yang berlaku secara universal
         Penegakan etika profesi melalui sanksi profesi (pencabutan lisensi)

B.7 Etika Organisasi
         Konsep baik-buruk dan benar-salah yang terkait dengan kehidupan organisasi
         Nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan organisasi modern (efisiensi, efektivitas, keadilan, transparansi, akuntabilitas, demokrasi)
         Dapat dirumuskan ke dalam kode etik organisasi yang berlaku secara universal
         Dalam praktek penegakan kode etik organisasi dipengaruhi oleh kepentingan sempit organisasi, kepentingan birokrat, atau kepentingan politik dari politisi yang membawahi birokrat
         Penegakan etika organisasi melalui sanksi organisasi

Peraturan Etika dibutuhkan untuk meredam kecenderungan kepentingan pribadi. Selain itu Etika bersifat kompleks, dalam banyak kasus bersifat dilematis, karena itu diperlukan yang bisa memberikan kepastian tentang mana yang benar dan salah, baik dan buruk. Penerapan peraturan etika juga dapat membuat perilaku etis menimbulkan efek reputasi. Yang mana hal ini terjadi dalam Organisasi publik sekarang yang banyak dicemooh karena kinerjanya dinilai buruk, karena itu perlu etika.
Perilaku tidak etis di dalam Birokrasi bisa terjadi karena alasan berikut :
         Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial).
         Kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri
         Tekanan dari luar untuk berbuat tidak etis.

C. Good Governance
Prinsip-prinsip good governance :
  1. Berwawasan ke depan
    1. Pemahaman mengenai permasalahan, tantangan dan potensi yang dimiliki oleh suatu unit pemerintahan
    2. Mampu merumuskan gagasan-gagasan dengan visi dan misi untuk perbaikan maupun pengembangan pelayanan dan menuangkannya dalam strategi pelaksanaan, rencana kebijakan dan program-program kerja ke depan berkaitan dengan bidang tugasnya.

  1. Bersifat terbuka
    1. Bersifat terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahan di setiap tahap pengambilan keputusan
    2. Adanya aksesibilitas publik terhadap informasi terkait dengan suatu kebijakan publik.
    3. Setiap kebijakan publik termasuk kebijakan alokasi anggaran & pelaksanaannya maupun hasil-hasilnya mutlak harus diinformasikan kepada publik atau dapat diakses oleh publik selengkap-lengkapnyamelalui berbagai media dan forum untuk mendapat respon.




  1. Cepat tanggap
    1. Selalu adanya kemungkinan munculnya situasi yang tidak terduga atau adanya perubahan yang cepat dari kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik ataupun yang memerlukan suatu kebijakan.
    2. Tidak ada rancangan yang sempurna sehingga berbagai prosedur dan mekanisme baku dalam rangka pelayanan publik perlu segera disempurnakan atau diambil langkah-langkah penanganan segera.
    3. Bentuk kongkritnya dapat berupa tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat sampai dengan adanya unit yang khusus menangani krisis, dan pengambilan keputusan serta tindak lanjutnya selalu dilakukan dengan cepat.

  1. Akuntabel
    1. Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dituntut di semua tahap mulai dari penyusunan program kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya.
    2. Akuntabilitas juga dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di bawahnya maupun dengan instansi atau aparat di atas.
    3. Penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan:
i.  sistem dan prosedur tertentu
ii.memenuhi ketentuan perundangan
iii.                      dapat diterima secara politis
iv.                      berdasarkan nilai-nilai etika tertentu
v.dapat menerima konsekuensi bila keputusan yang diambil tidak tepat.

  1. Profesionalitas dan kompetensi
    1. Mengisi posisi-posisi dengan aparat yang sesuai dengan kompetensi, termasuk di dalamnya kriteria jabatan dan mekanisme penempatannya.
    2. Terdapat upaya-upaya sistematik untuk mengembangkan profesionalitas SDM yang dimiliki unit ybs melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan

  1. Efisien & efektif
    1. Menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif
    2. Merupakan salah satu respon atas tuntutan akuntabilitas.
    3. Kinerja penyelenggaraan pemerintahan perlu secara terus menerus ditingkatkan dan dioptimalkan melalui pemanfaatan sumberdaya dan organisasi yang efektif dan efisien, termasuk upaya-upaya berkoordinasi untuk menciptakan sinergi dengan berbagai pihak dan organisasi lain.

  1. Desentralisasi
    1. Adanya pendelegasian wewenang sepenuhnya yang diberikan kepada aparat dibawahnya sehingga pengambilan keputusan dapat terjadi pada tingkat dibawah sesuai lingkup tugasnya.
    2. Pendelegasian wewenang tersebut semakin mendekatkan aparat pemerintah kepada masyarakat

  1. Demokratis dan berorientasi pada Konsensus
    1. Menjunjung tinggi penghormatan hak dan kewajiban pihak lain
    2. Dalam suatu unit pemerintahan, pengambilan keputusan yang diambil melalui konsensus perlu dihormati

  1. Mendorong partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat pada hakekatnya mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

  1. Kemitraan dengan swasta dan masyarakat
Pemerintah dan masyarakat saling melengkapi dan mendukung (mutualisme) dalam penyediaan "public goods" dan pemberian pelayanan terhadap publik.

  1. Menjunjung supremasi hukum
    1. Penyelenggaraan pemerintahan yang selalu mendasarkan diri pada ketentuan perundangan yang berlaku dalam setiap pengambilan keputusan
    2. Bersih dari unsur “KKN” dan pelanggaran HAM
    3. Ditegakkannya hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran hukum.

  1. Komitmen pada pengurangan kesenjangan
Berpihak kepada kepentingan kelompok masyarakat yang tidak mampu, tertinggal atau termarjinalkan.

  1. Memiliki komitmen pada pasar
Prinsip ini menyatakan dibutuhkannya keterlibatan pemerintah dalam pemantapan mekanisme pasar

  1. Komitmen pada lingkungan hidup
Prinsip ini menegaskan keharusan setiap kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk memperhatikan aspek lingkungan termasuk melakukan analisis secara konsisten dampak kegiatan pembangunan terhadap lingkungan.


C.      Etos Kerja
Menurut Geertz etos kerja adalah “sikap yang mendasar terhada diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Artinya etos kerja adalah aspek evaluative, yang bersifat menilai.
Dengan demikian yang dipersoalkan dalam etos kerja adalah kemungkinan-kemungkinan sumber motivasi seseorang dalam berbuat apakah pekerjaan di anggap sebagi keharusan demi hidup, apakah pekerjaan terikat pada identitas diri, atau apakah yang menjadi sumber pendorong partisipasi dalam pembangunan. Etos juga merupakan landasan ide, cita, atau pikiran yang akan menentukan system tindakan. Karena etos kerja menentukan penilaian manusia terhadap suatau pekerjaan maka ia akan menentukan pula hasil-hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat, semakin baik hasil-hasil yang akan dicapai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.




























Bab III



            Berbicara tentang Etika Birokrasi sebenarnya kita berbicara tentang nilai-nilai yang mendasari tindakan Birokrasi atau alat-alat Negara dalam menjalankan tugas-tugasnya. Secara akademis etika birokrasi termasuk etika sosial bersama dengan etika-etika yang lain seperti etika profesi, etika politik, etika lingkungan hidup, kritik ideologi, dan sikap terhadap sesame. Penerapan etika adminitrasi dalam prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan juga meiliki banyak aspek-aspek yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya sejalan dengan asas-asas Birokrasi untuk mencapai Pemerintahan yang baik, , dengan mewujudkan peinsip demokratis, keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
A.       Penerapan Konsep Etika Administrasi dalam Pejabat Pemegang Birokrasi
Tugas dari suatu Birokrasi salah satunya harus sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tugas Pegawai Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik.
Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Perilaku birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel, yaitu karakteristik birokrasi dan karakteristik manusia, atau lebih spesifi lagi, struktur dan aktor. Antara karakteristik itu dengan perilaku terdapat hubungan yang sedikit banyak bersifat kausal. Misalnya pada variabel organisasi, hierarki menimbulkan sifat taat bawahan terhadap atasan. Pada variabel manusia, kepentingan atau kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari organisasi. Perilaku birokrasi jauh berbeda jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama dengan hubungan pemerintahan. Ketika Birokrasi Pemerintahan bertindak keluar, terjadilah hubungan birokratik pemerintahan, tetapi hubungan ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah dan manusia bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang baik




B.       Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance
Terkait dengan Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance atau Pemerintah yang baik memiliki pengertian yang berbeda-beda di setiap negara, yang artinya bahwa prinsip-prinsip ini tidak bersifat global. Di negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada era pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang berguna bagi masyarakat. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan. Namun terlepass dari pendapat diatas, asas-asas pemerintahan yang baik. Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik menurut Wahyudi Kumorotomo dalam buku “Etika Administrasi Negara” adalah:
  1. Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi inni sama seperti berasas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan berarti bahwa rakyat memiliki kekuassaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyta pula yang menentukan jalannya suatu negara dan pemerintahan. Di dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien. 
  1. Keadilan sosial dan pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antardaerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan. 
  1. Mengusahakan kesejahteraan umum
Setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat. 
  1. Mewujudkan negara hukum
Indonesia pada daasranya merupakan negara hukum. Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 
  1. Dinamika dan efisiensi
Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan beradaptasi dengan globalisasi suatu organisasi. Maksud dari globalisasi ini adalah adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di samping itu efisiensi sama diperlukan. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang dikeluarkan.

Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik tercantum juga dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yaitu:
1.      Asas Kepastian Hukum,
Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

2.      Asas Tertib Penyelenggaraan Negara,
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3.      Asas Kepentingan Umum,
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4.      Asas Keterbukaan,
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, dan rahasia negara.
5.      Asas Proporsionalitas,
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6.      Asas Profesionalitas,
Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.      Asas Akuntabilitas,
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.

C.       Implementasi Etika dalam Birokrasi
            Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, salah satunya adalah karena masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Alasan lainnya adalah keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya.
Dari alasan-alasan yang sudah diuraikan, sudah jelas bahwa etika Birokrasi sangat dibutuhkan pada saat ini mengingat di Negara kita masyarakat bergantung pula pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga membutuhkan perubahan sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika di dalam melaksanakan tugasnya. Namun dengan alasan perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya pengawasan yang tidak ketat didalam suatu birokrasi menjadi salah satu penyebab penyimpangan etika.  Salah satunya seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme atau yang sering kita sebut dengan KKN. Ketiganya merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi. Yang mana sebetulnya semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, jika prinsip good governance ini dipegang oleh masing-masing birokrasi yang ada.

C.1 Korupsi: Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak atau mencegah permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (prnyogokan, penyuapan, pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas tindakan korupsi tadi.

Bab IV
KESIMPULAN



A.      Penerapan etika adminitrasi dalam prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan meiliki banyak aspek-aspek yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti menjalankan asas-asas birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan peinsip demokratis, keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Selain itu dalam upaya penerapan etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu adanya aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur para birokrat untuk tetap konsisten menjalankan dan mengamalkan etikan yang baik dalam administrasi pemerintah.
Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang baik.

B.       Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance yang tercantum dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yaitu:
1.      Asas Kepastian Hukum,
2.      Asas Tertib Penyelenggaraan Negara,
3.      Asas Kepentingan Umum,
4.      Asas Keterbukaan,
5.      Asas Proporsionalitas,
6.      Asas Profesionalitas,
7.      Asas Akuntabilitas,
Adapun tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.

C.       Mal-administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Tidak sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik. Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.













DAFTAR PUSTAKA

Buku :
H. De Vos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jeck H. Kontt & G.J. Miller, Reformasi birokrasi dan Peilihan institusi politik. Hlm : 173-175
K. Frankena, William. 1982. Ethics. New Delhi: Prentice-Hall.
Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
Robert C., Solomon. 1987. Etika: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Sukirman & Endah Apriani, Potret Kepuasan Konsumen Pelayanan Publik Kota Bandung, 2002
Taufik Abdulah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, 1988. Hlm 3


Undang-undang dan Peraturan lainnya :
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Sumber lainnya :